Apa hal pertama yang muncul di pikiran Anda, ketika kita bicara soal anyaman. Apakah hasil dari anyaman itu sendiri? Atau… bahan-bahannya? Mayoritas dari Anda mungkin, mengenal anyaman biasanya berbahan dasar rotan, bambu, pandan, lontar, sampai gebang dan mendong.
Tapi, tahukah Anda kalau selain bahan-bahan di atas, anyaman juga bisa dibuat dengan bahan-bahan lain. Salah satunya adalah purun. Beberapa dari Anda mungkin merasa asing dengan purun. Tidak bisa disalahkan memang, karena purun, memang tidak sepopuler bahan-bahan anyaman lain.
Pada perhelatan ‘The Flying Cloth’ Perjalanan 25 Tahun Merdi Sihombing berkarya, Sang Maestro secara khusus memperkenalkan purun, lewat sebuah workshop yang digelar di Area Sunken Museum Nasional Indonesia.
Purun adalah jenis tanaman endemik, yang tumbuh di lahan gambut. Artinya, tanaman ini tidak bisa tumbuh di sembarang tempat layaknya rumput-rumput liar. Khususnya, hanya ada di wilayah-wilayah yang sifatnya seperti pulau atau kelompok pulau.
Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, penggunaan purun sebagai bahan utama untuk memenuhi kebutuhan (baik untuk dipakai sendiri maupun dijual), tentu bukan hal baru. Biasanya, masyarakat menggunakan purun untuk diolah menjadi topi, tempat menyimpan beras, sayur-sayuran, sumpit, tikar dan lain sebagainya.
Tapi… perjalanan purun selama puluhan tahun hanya menjadi komoditi masyarakat lokal, perlahan-lahan mulai berubah. Dan perubahan ini, salah satunya diprakarsai oleh Sang Maestro, Merdi Sihombing.
Pada tahun 2022 lalu, Bang Merdi (begitu ia akrab disapa) melakukan perjalanan khusus ke wilayah Pedamaran, Ogan Komering Ilir di Sumatera Selatan untuk menemukan purun dan mengolahnya untuk menjadi anyaman, namun dengan sentuhan yang berbeda.
Selama 25 tahun berkarya, Merdi berkomitmen untuk menciptakan produk-produk yang sustainable alias ramah lingkungan. Sehingga, segala detail tentang karya yang ia ciptakan, harus melalui proses kurasi yang ketat agar komitmennya terjaga. Dan visi inilah yang ia bawa, saat berniat mengangkat purun dari tanaman endemik menjadi bahan baku kerajinan yang unik.
“Saya waktu memutuskan untuk membuat kerajinan menggunakan purun, saya tidak mau menggunakannya begitu saja. Saya ingin kerajinan berbahan purun yang saya ciptakan, bisa tampil berbeda namun tetap alami dan asli. Dan setelah melakukan beberapa riset, saya menemukan fakta bahwa tanaman purun itu kalau dibelah-belah, bagian dalamnya itu berwarna cokelat.
Nah, poin inilah yang kemudian saya ambil untuk diaplikasikan di kerajinan-kerajinan karya saya. Seperti tas, koper, itu kalau diperhatikan penampilan anyamannya tidak biasa. Tapi ada unsur warna cokelat alami yang membuat karya saya terlihat sangat menarik,” kata Merdi.
Selain warna, kita semua harus mengakui kalau Merdi punya kualitas mata bak burung elang. Sangat jitu! Selain keunikan warna alami yang dimiliki, purun ternyata memiliki ketahanan kualitas yang istimewa.
Pada kesempatan yang sama, turut hadir juga Syarifudin dari Purun Institute. Beliau melanjutkan cerita Merdi soal purun. Ia mengatakan bahwa penggunaan purun sebagai kerajinan tangan sudah terjadi sejak zaman nenek moyang mereka.
“Purun itu sebetulnya sudah sejak lama digunakan oleh kami di Pedamaran untuk dijadikan kerajinan bahkan sejak zaman nenek moyang. Dan memang sudah sejak lama, purun ini menjadi komoditi bagi perekonomian masyarakat kami. Karena, pada prosesnya dari awal sampai jadi kerajinan, purun ini diolah oleh orang-orang yang berbeda. Jadi purun dipanen oleh pengambil purun, lalu dijual ke pengrajin purun. Nanti setelah jadi, pengrajin akan menjual kerajinan hasil purun ke pengepul,” katanya.
Lebih lanjut Syarifudin bercerita, bahwa purun sendiri memiliki keistimewaan dibanding bahan anyaman lain, terutama dari segi material. Menurut Syarifudin, purun adalah material yang mudah dipanen dan saat proses dijadikan material kerajinan, proses pembuatannya juga cenderung lebih mudah dibanding bahan-bahan anyaman lain.
Tidak hanya itu. purun, juga sangat mudah beradaptasi dengan cuaca. Karena purun tumbuh di lahan gambut, maka ia memiliki sifat dingin. Sangat cocok untuk digunakan sebagai alas tidur di musim panas. Sedangkan saat musim hujan atau dingin, purun juga tetap bertahan di suhunya. Sehingga ketika digunakan sebagai alas tidur, ia tetap bisa menetralisir suhu, jadi ketika digunakan sebagai alas tidur akan tetap terasa nyaman.
“Purun juga tidak akan berjamur seperti bahan anyaman lain, seperti rotan misalnya. Selama, digunakan dengan cara yang tepat. Jangan dipakai bolak-balik basah, kering, basah, kering. Selama digunakan dengan cara yang tepat dan disimpan dengan cara yang tepat juga, maka purun ini akan bertahan lama.”
Syarifudin lebih lanjut bercerita. Bahwa industri penggunaan bahan purun mulai menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dan perubahan ini, bisa terjadi berkat Merdi Sihombing.
“Purun ini sebetulnya adalah tanaman liar. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, kami sempat merasa khawatir karena lahan gambut sendiri mulai berkurang karena adanya perubahan fungsi lahan. Di mana lahan-lahan gambut ini berubah karena diizinkan oleh pemerintah untuk diambil alih oleh perusahaan-perusahaan tertentu dan diubah fungsinya,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Berkat Bang Merdi, kami pernah melakukan penelitian dan konservasi, supaya tanaman ini tidak punah di habitatnya. Mengingat purun ini adalah ladang ekonomi untuk kami di Pedamaran. Dan ternyata, penelitian dan konservasi yang kami lakukan berhasil.”
Syarifudin juga mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengeluarkan peraturan dan membuat area konservasi ini menjadi area yang dilindungi, agar purun terus bisa tumbuh dan digunakan oleh masyarakat sebagai komoditi utama mereka.
(Andiasti Ajani, foto: dokumentasi ‘The Flying Cloth’)